Read more: http://impoint.blogspot.com/2013/03/cara-membuat-auto-readmore-di-blog.html#ixzz2QvAWINP3 Dilarang copy paste artikel tanpa menggunakan sumber link - DMCA Protected Follow us: @ravdania on Twitter | pemakan.worell on Facebook NURANI HUKUM

Monday, April 15, 2013

PERTARUNGAN TEORI PEMANFAATAN TANAH PERTANIAN


PERTARUNGAN TEORI PEMANFAATAN TANAH PERTANIAN
                                    Oleh : R.Zaini Lubis, S.H,.M.H. 
Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan”, dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”
                ------------------------------------------------------------------------------------------------
KASUS pertanahan terakhir ini mencuat di ranah publik bukan hanya di ekspose pada ruang lokal tetapi sudah secara nasional dan malah dimungkinkan  pada tataran internasional, tentang permasalahan ini; “Seperti benang kusut yang sulit diurai dan dimana pangkal dan dimana ujungnya”.

“Mesuji” adalah hanya satu kasus dari banyak kasus pertanahan di Indonesia terutama pada lahan-lahan perkebunan dan hutan tanaman industri, berbagai kebijakan dari Pemerintah telah diaplikasikan dalam rangka untuk mengatur tatanan konsep pemanfaatan pertanahan dalam rangka mencapai cita-cita hukum agraria yang dikatakan populis tersebut, semua subjek hukum terbelenggu dari kebijakan peme-rintah dalam rangka pengaturan tentang hak pemanfaatan tanah.

Hukum Agraria dapat diibaratkan suatu bangun ruang yang maha luas yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat yang berlandaskan butir ke lima Pancasila dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang dijiwai oleh hukum adat, bangun ruang tersebut diberi sekat-sekat berbentuk ruang yang berbagai ukuran, ada ruang untuk masyarakat petani yang berukuran kecil dan ruang berukuran besar yang diperuntukkan bagi negara atau pemerintah dan ruang lainnya, pada sekat-sekat tersebut dibuatkan aturan pelaksanaan yang memakai alas/ dasar sebagai pembenaran teori dari berbagai sektor untuk melakukan ekosploirasi dan eksploitasi dari sumber daya alam terutama tanah.

Perintah dari UUD 1945 sebagai “grand strategi dan ground norma (kaidah dasar) untuk memberikan “Hak Menguasai Negara” (HMN) terhadap tanah, yang merupakan suatu hak yang diberikan oleh rakyat kepada negara dalam rangka untuk mengatur, menyelenggarakan sebesar-besar-nya kemakmuran rakyat yang bersumber dari hukum adat/hak ulayat berpola hak kolektiv dan saling tarik menarik dengan hak individu dan mempunyai dialektika lingkungan yang menggunakan akal budinya untuk melakukan tindakan.
Berdasarkan HMN sebagai politik hukum dari negara melalui pemerintah yang mendapatkan otorisasi untuk melakukan kebijakan dalam rangka pemanfaatan tanah yang merupakan pola umum dari hukum positif suatu negara.

Negara dalam melakukan kebijakan dengan menganut faham utilitarianisme, meng-andung arti “tanah adalah berguna jika dimanfaatkan, apa saja asal berguna untuk mencapai tujuan” dalam rangka memaksimalkan potensi tentang tanah dan kegiatan budidaya unggulan, sebagai penggerak utama pembangunan diwilayah pedesaan dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Melalui otorisasi negara, kebijakan berlang-sung diberbagai sektor tanpa mengikuti simpul “grand strategi dan ground norma (kaidah dasar), negara mengatur, memutuskan peruntukan tanah, kewena-ngan KTUN dilakukan melalui pengurusan (bestuursdaad), pengolahan (behersdaad) dan ketetapan/penetapan (beschikking) dalam rangka pemanfaatan tanah yang merupakan legal formal.
Melalui RTRW ditetapkan zonasi-zonasi yang homogen terintegrasi yang memer-lukan kekuatan modal dan merupakan pola-pola umum dari hukum positif suatu negara dalam pembangunan yang memerlukan legitimate hukum dari publik.

Melalui PerMen.Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian hak ulayat atas tanah “diakui sepanjang pada kenyataannya masih ada” melalui keteta-pan Pemerintah Daerah.
Hak atas tanah yang terkuat dibuktikan melalui sertifikat tanah yang dimiliki seseorang, hal ini merupakan legal formal untuk mendukung program pemanfaatan tanah dengan didahului pemetaan hak-hak atas tanah dan perencanaan tataruang untuk memudahkan dalam mengidentifikasi dan meminta pertanggungjawaban terhadap tanah-tanah secara ipso facto, faham utilitarianisme menekankan akan “analisis atas studi biaya dan keuntungan/keman-faatan”

Secara dibawah titik sadar bangsa Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya  terutama memanfaatakan tanah telah  berinovasi melalui teori utilitari-anisme, dengan mengatur zonasi-zonasi yang homogen dan membatasi akses hak ulayat untuk mendapat legitimate di ranah publik, dan menerbitkan ijin lokasi melalui KTUN terhadap tanah-tanah ini merupakan tindakan yang dapat disebut etis bila jumlah total utilitis lebih besar dari jumlah utilitis total oleh tindakan lain atau berguna bagi subjek hukum yang mendapatkan ijin, sedikit mengorbankan keadilan atau moral demi membela yang lebih kuat yang dapat memberikan manfaat secara nyata bagi keuntungan negara melalui “koorporasi”
Intervensi negara melalui ijin pemindahan hak-hak negara yang didapat dari rakyat dan memindahkan sebagian hak-hak tersebut kepada pihak lain secara logika akan kelihatan menjauhkan hukum dari keadilan dan kebijakan ini merubah tatanan sosial masyarakat dilingkungan koorporasi dan merupakan rivalitas terhadap lingkungan sekitarnya.

Koorporasi dipandang sebagai subjek hukum nyata (reliteit) bukan fiksi dari konstruksi yuridis seolah-olah sebagai manusia dalam lalulintas hukum dan juga mempunyai kehendak sendiri yang dibentuk melalui kelengkapan yang disebut pengurus yang dapat juga dikategorikan sebagai subjek hukum pengurusnya dipersamakan dengan perbuatan manusia lainnya yang diukur dengan kekuatan modalnya dan batas maksimum apa yang bisa diperbuatnya dalam rangka pemanfaatan tanah itulah asas-asas yang ada pada faham utilitirianisme.

UUD 1945 dan UUPA telah benar memberikan kebijakan akan pemanfaatan tanah, populis dengan memakai bingkai hukum adat dan hak keulayatan, dengan sifat budaya masyarakat Indonesia “musyawarah dan mufakat” jauh dari sengketa dan hiruk pikuk dan saling bunuh yang merupakan dialektika lingkungan, tidak merupakan kontribusi modal, tetapi partisipasif dan sebesar-besarnya kemak-muran anggota masyarakatnya, bukan soal keuntungan saja tetapi soal “proses”, masyarakat sebagai “subjek” yang terlibat secara “partisipatif” yang diarahkan kepada “peran” terhadap “pemanfaatan tanah”, permasalahan bukan tataran “gran strategi dan ground norm”, tetapi pada sinkronisasi dan harmonisasi KTUN terhadap pengaturan pemanfaatan tanah terhadap cita-cita yang bangsa.

Konsep utilitarianisme  sesuai dipakai pada tataran pemanfaatan tanah pada lingkungan “ tanah terlantar”, bukan pada tanah-tanah hak secara ipso facto, demikian juga hukum adat dan hak keulayatan tetap harus dipertahankan dalam mengelola tanah-tanah di Indonesia bukan pada tataran  dari legitimate haknya, tetapi pada tataran “hak kolektive dan saling tarik menarik dengan hak individu”

Sistematika hukum adat/hak ulayat tetap harus dipertahankan karena secara ideologis hukum adat menjadi pertimbangan pokok dalam menyusun ketentuan penguasaan tanah menurut hukum negara, dan mempu-nyai kearifan yang sama dengan hukum agama yang dianut di Indonesia tentang pemanfaatan tanah sebagai sumber daya ekonomi yang khas, meskipun demikian negara harus selalu mengawasi hal ini sebab hukum adat selalu dipengaruhi oleh; politik, kapitalis dan kadaerahan/swapraja, bila negara yang memiliki HMN melalui pemerintah agar dapat menjaga keseim-bangan dalam melakukan kebijakan sehingga tidak terjadi kasus “mesuji-mesuji lainnya” atau menimbulkan kemunduran tentang pemanfaatan tanah produksi yang selama ini sudah menopang prekonomian yang cukup dominan.

Kasus “Mesuji” merupakan “kejadian berdarah” yang perlu disikapi oleh seluruh anak bangsa, saat ini zamannya keterbukaan informasi, baik itu melalui media cetak, media elektronik dan lainnya, kasus “Mesuji” yang di ekpsose sangat vulgar dan kadang tidak memenuhi unsur-unsur pengetahuan yang cukup tentang dasar-dasar “kebijakan Agraria”, semua orang bisa bicara sehingga membentuk “opini keresahan” dan menghasilkan konflik baru ditengah-tengah masyarakat, padahal pada tataran negara modern memerlukan “kepastian” dan “legitimate” hukum, negara membutuhkan modal untuk membangun bangsa, tidak ada suatu negara didunia yang tanpa membutuhkan bantuan modal dari pihak lain (swasta) yang dijadikan avalis dari berbagai kegiatan.

Pertarungan teori tentang pemanfaatan tanah tidak akan pernah selesai, akan terus menerus saling bentur-membenturkan, se-hingga terjadi pasang surut dan mengha-silkan kerugian dan keuntungan dari rente-rente masing pihak yang berperan dida-lamnya, sehingga pemerintah harus tetap waspada dan bijak dalam menyikapinya (lubis.coy10*)

Sunday, May 8, 2011

Perlindungan Lingkungan Hidup


PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP
A.      PENDAHULUAN
Kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh negara melalui pemerintah baik pembangunan sarana dan prasarana umum maupun aktivitas yang dilakukan oleh pihak swasta berupa kegiatan bisnis akan berpengaruh langsung pada perubahan lingkungan hidup, apalagi kegiatan tersebut berhubungan langsung dengan eksploitasi sumber daya alam  dengan tujuan  untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan bisnis tersebut, dengan harapan semua kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta  untuk mengubah sesuatu keadaan didalam lingkungan tertentu menjadi keadaan lingkungan hidup yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kesejahterakan masyarakat.  Namun di dalam pembangunan yang memuat unsur perubahan itu dapat juga menimbulkan ketidak seimbangan lingkungan jika hanya berorientasi pada teori ekonomi klasik perusahaan yang selalu dilakukan yaitu dengan mengeluarkan biaya yang sedikit-dikitnya dan mendapatkan laba yang sebesar-besarnya, dengan tidak memperdulikan dampak negatif terhadap lingkungan, dengan meminggirkan hal yang pokok dalam lingkungan dalam rangka untuk menjaga keseimbangan antar komponen-komponen lingkungan yang memerlukan pengeluaran biaya yang kontiniu harus dikeluarkan untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga komponen-komponen lingkungan dalam melakukan aktivitas pembangunan yang tidak menimbulkan efek negatif tentang kondisi alam yang sifatnya terjaga secara berkelanjutan.
Pemahaman terhadap hakikat lingkungan ini masih banyak yang tidak di sadari manusia sehingga mengakibatkan kesalahan pada waktu menentukan perencanaan, pelaksanaan, dan pasca kegiatan pembangunan. Dalam prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, maka pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan lingkungan artinya tidak menolak bila sumber daya alam diolah untuk kesejahteraan manusia, tetapi kesejahteraan manusia yang dimaksudkan di sini adalah kesejahteraan manusia untuk masa kini dan masa mendatang.
Dalam Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan  dan Pengelolaan Lingkungan hidup pasal 1 ayat (1), menyebutkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri-kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Pencemaran dan kerusakan lingkungan di Indonesia telah terjadi di mana-mana. Dari tahun ke tahun akumulasinya selalu bertambah dan cenderung tidak dapat terkendali, seperti kerusakan dan kebakaran atau pembakaran hutan, banjir pada waktu musim penghujan, dan kekeringan pada waktu musim kemarau.
Pembangunan dengan cara mengeksploitasi Sumber Daya Alam dalam rangka untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering terjadi pacuan pertumbuhan yang seringkali menimbulkan dampak yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial.[1]
Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumber daya alam namun eksploitasi sumber daya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan. Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengeksplorasi sumber daya alam sering kali tanpa memperdulikan lingkungan, sehingga  menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah. Pengelolaan pembangunan yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan dipersyaratkan untuk memperhatikan lingkungan hidup. Dalam perkembangannya, maka setiap aktivitas dalam pembangunan yang bersentuhan langsung dengan lingkungan hidup terutama sumber daya alam khususnya pengrusakan hutan sebagai salah satu penyeimbang alam, memerlukan suatu standar mengenai Baku Mutu Lingkungan (BML) paling tidak menjadi suatu regulasi yang harus dipatuhi semua stakeholder yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut.
Akibat tuntutan  kebutuhan ekonomi, yang awalnya melakukan pemanfaatan hasil hutan baik yang dilakukan perseorangan maupun melalui perusahaan-perusahaan dengan melakukan pembelalakan kawasan hutan untuk dijual kayunya (illegal loging)  sekaligus lahannya dijadikan perkebunan kelapa sawit dengan cara-cara yang tidak mengkuti ketentuan, seperti :
1.    Penebangan kayu pada kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk dilindungi;
2.    pembakaran hasil tebangan hutan sehingga menimbulkan efek rumah kaca;
3.    eksploitasi hutan pada areal hutan gambut yang kedalamannya lebih dari 3 meter;
4.    melakukan penebangan pada areal yang bertofograpi miring sehingga menimbulkan erosi dan banjir sehingga merubah mengurangi karbon yang tersimpan didalammnya.
Sebagian dari aktivitas yang disebutkan diatas secara langsung akan merusak dari ekosistem  atau tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan secara menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas alam, dan produktivitas lingkungan hidup,  sedangkan hutan alam yang bermanfaat untuk menjaga  lingkungan sekitarnya.  Untuk mengurangi fenomena ini  pemerintah telah menciptakan regulasi baru melalui Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk menggantikan Undang-Undang nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan hidup. Undang-undang yang baru ini diharapkan dari semua stakeholder untuk ikut berperan dalam rangka mengawasi tentang lingkungan hidup, sehingga baik sektor ekonomi maupun perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat berjalan seimbang dan tidak saling merusak satu sama lain.
Salah satu stakeholder yang diharapkan ikut dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah  masyarakat sendiri melalui LSM lingkungan atau perorangan dapat memberi informasi baik melalui media maupun melalui informasi lain untuk membawa pelaku tindak kejahatan lingkungan ke pengadilan, sehingga akan makin memberi alasan agar pelaku tindak kejahatan terhadap lingkungan harus dibuat efek jera,  dan diproses menurut ketentuan hukum yang ada, sehingga diharapkan kontrol terhadap  aktivitas yang dapat merusak lingkungan hidup dapat sesegera mungkin diatasi
Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengan pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mendasari kebijakan tentang lingkungan di Indonesia, karena undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijakan (instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan untuk mendapatkan kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleids instrumenten) ditetapkan oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan.[2]
Dalam proses pemberian izin kepada pihak perusahaan untuk melakukan aktivitas khususnya yang berhubungan dengan sumber daya alam yang langsung  bersinggungan dengan lingkungan diperlukan suatu persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun kebijakan yang ditetapkan oleh tata usaha negara sebagai suatu persyaratan administrasi, mutu lingkungan dikaitkan lebih jauh dengan prosedur RTRW, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan) sebagai persyaratan awal atau dapat disebutkan sebagai pre-emtive dari suatu perizinan perusahaan yang diberikan dalam mengawali kegiatan yang harus tercermin  pada Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) sebagai pedoman dalam kegiatan yang dituangkan dalam persyaratan perizinan dari suatu kegiatan perusahaan serta dilakukan monitoring tentang pelaksanaan tentang  baku mutu, perizinan pro lingkungan, serta PROPER (Program Penilaian Peningkatan Kinerja Perusahaan), sebagai pelkasanaan kategori  prventive.
Dengan telah adanya suatu regulasi yang ditetapkan oleh suatu peraturan perundang-undangan baik secara materil maupun formil tetapi secara empiris masih banyak terjadi perusahaan-perusahaan  yang melakukan kegiatan dengan tidak mematuhi akan dampak lingkungan sehingga menimbulkan dampak lingkungan yang negatif dan menimbulkan masalah lingkungan secara global, khususnya bagi perusahaan yang aktivitasnya berhubungan  langsung dengan sumber daya alam yang selalu menimbulkan masalah terhadap pengrusakan lingkungan hidup dan menjadikan persefsi negatif bagi dunia Internasional. Oleh karena itu penegakan hukum lingkungan semakin penting sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata usaha negara dan hukum internasional.

B.  RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah Tanggung jawab Perusahaan Perkebunan terhadap lingkungan  sesuai dengan perizinan yang dimiliki Menurut Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ?
2.    Apakah sanksi diberikan kepada Perusahaan Perkebunan yang Melakukan Perusakan Lingkungan ?

C.  PEMBAHASAN
Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang terdapat pada pasal 22  ayat (1) Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa : Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal, dan pada pasal 23 ayat (1)  Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri, menyebutkan :
a.    pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b.    eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; 
Jelaslah bahwa perusahaan perkebunan berhubungan langsung terhadap pengubahan bentuk dan bentang alam serta melakukan eksploitasi sumber daya alam yang kegiatannya diwajibkan diawali dengan komitmen pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup melalui amdal. Komitmen tersebut dibuat oleh perusahaan menjadi suatu persyaratan pokok dalam pemberian izin oleh pemerintah.
Secara factual dilapangan bahwa tanggung jawab perusahaan perkebunan dalam pelaksanaan AMDAL lebih dipusatkan pada persiapan proyek dibandingkan dengan implementasinya. Hal ini untuk menegaskan bahwa perhatian terhadap pengawasan dampak nyata dari proyek dan efektivitas rencana
mitigasinya sangat kecil. Hal ini mencerminkan karakter dasar AMDAL sebagai alat untuk memprediksi, tetapi sebagai konsekuensinya, proses AMDAL secara alami telah menjadi linear dan tidak iterative. Yang lebih buruk lagi, risiko proyek telah menjadi suatu latihan pro-forma dibandingkan latihan yang tulus dalam hal manajemen lingkungan hidup. Menunjukkan bahwa banyak terjadi perusahaan yang tidak memiliki persyaratan legal dapat mengikat aksi pihak pengembang dengan studi AMDAL. Dengan memusatkan pada persiapan proyek diharapkan bahwa dampak yang terburuk dapat dieliminasi melalui keputusan lokasi dan rancangan, dibandingkan upaya pengawasan dan tindak lanjut yang mahal dan menantang secara teknis. Terdapat logika yang tidak dapat dibantah mengenai
pendekatan ini dalam konteks miskin sumber daya, tetapi dalam jangka panjang hal ini melarang pembelajaran dan inovasi, dan sistem tersebut dapat mengalami kegagalan dalam menghadapi tantangan yang akan muncul seiring dengan perkembangan di masa depan.  Praktek perlindungan lingkungan hidup seringkali berorientasi pada peraturan, terlaksana dengan buruk, dan ditegakkan dengan lemah. Alasan yang terkandung dari penegakan yang lemah ini sangat berhubungan dengan masalah institusional dan sumber daya manusia seperti juga kebijakan yang berorientasi pada prioritas pertumbuhan jangka pendek, Indonesia saat ini tengah mempertimbangkan untuk memperkenalkan sanksi dalam sistem AMDAL untuk menetapkan hukuman bagi pelanggaran  yang berhubungan dengan AMDAL.
Sehingga pada Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 sebagai Pengganti Undang-undang nomor 23 Tahun 1997 Tentang lingkungan Hidup melibatkan masyarakat dalam hal keikut sertaannya sebagai stakeholder dari perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup dengan menegaskan hal ini pada Pasal 26 ayat (1) dengan menyebutkan bahwa : Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. Serta ayat (2) meneyebutkan : Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan juga ayat (3) menetapkan bahwa : Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    yang terkena dampak;
b.    pemerhati lingkungan hidup; dan/atau      
c.    yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
Konsensus mengenai pengertian keterlibatan masyarakat dalam AMDAL, khususnya bahwa dibutuhkan proses dialog dua arah dan bahwa dibutuhkan keahlian yang signifikan dalam mengkomunikasikan pesan-pesan yang kompleks dengan menggunakan media yang berbeda. Perusahan mempunyai tanggung jawab untuk  menangkap hal-hal yang penting dari keterlibatan masyarakat yang berarti dan bahkan untuk menterjemahkan prinsip-prinsip ini dalam peraturan yang berhubungan dengan AMDAL.
Beberapa komentar berkembang, mengusulkan bahwa keterlibatan masyarakat telah hilang dari proses-proses AMDAL atau terdorong menuju tingkat yang lebih akhir.  Pada saat yang bersamaan terdapat salah perhitungan yang tersebar dengan luas mengenai tingkat usaha dan sumber daya yang dibutuhkan untuk menterjemahkan hal retorik tersebut menjadi kenyataan, khususnya investasi yang diperlukan untuk menyediakan akses informasi yang cukup dan berjangka waktu lama. Konsekuensinya, sebagian perusahaan melarang praktek-praktek “konsultasi” dibandingkan “partisipasi”. Dan terhadap sejumlah butir yang terbatas dalam proses tersebut. Sebagai contoh, pertemuan masyarakat seringkali digunakan sebagai alat untuk meyakinkan komentar masyarakat terhadap pernyataan draft AMDAL. Agar pendekatan ini menjadi lebih efektif, maka tanggung jawab perusahaan selain tindak melanggar ketentuan peraturan tentang lingkungan hidup tetapi tidak kalah pentingnya komunikasi dua arah dengan masyarakat yang belum memahami tentang dampak lingkungan sehingga tidak mudah terpropokasi terhadap pemahaman yang negatif.
Pelanggaran atau kejahatan lingkungan hidup adalah merupakan suatu hal yang unik dibandingkan dengan pelanggaran atau kejahatan yang lain. Seperti telah kita ketahui bahwa banyak pencemaran dan perusakan lingkungan yang cukup serius timbul dari industri yang sebagian besar adalah merupakan badan hukum terutama yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan  perkebuna dengan melakukan penebangan pada kawasan hutan, pembakaran kayu hasil penebangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, siapakah yang dapat dikenakan pertangggung jawaban pidana dalam perbuatan merusak lingkungan tersebut, badan hukum atau pegawainya atau bahkan keduanya.
“Apabila meninjau pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana”[3]

 Dasar pemikiran yang digunakan oleh KUHP, ialah bahwa kejahatan tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporasi/perusahaan, karena walaupun tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, tetapi tindak pidana tetap dilakukan oleh orang perorangan atau legal persoon. Oleh karena itu, dengan memperhatikan bahwa perkembangan kegiatan ekonomi tumbuh dengan pesat, gejala kriminalitas lingkungan hidup juga semakin meningkat dengan badan hukum atau korporasi banyak berperan dalam mendukung atau memperlancar kejahatan tersebut, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari subyek hukum perdata menjadi subyek hukum pidana.
Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup mengatur pada pasal 117 dengan memberikan ancaman hukuman kepada korporasi dengan diperberat sepertiga dari hukuman yang ada dalam undang-undang ini. Sedangkan untuk pemimpin dan pemberi perintah dalam korporasi juga diancam hukuman penjara dan atau denda.
Mengenai sanksi hukuman penjara sesuai dengan pemikiran  bahwa pengurus korporasi adalah individu-individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Oleh sebab itu selain menikmati kedudukan sosial, perlu pula diiringi dengan tanggung jawab pelaku yang memiliki tanggung jawab atas kegiatan koorporasi.[4]
Siapa-siapa saja yang dapat dihukum dalam tindak pidana korporasi, diatur di dalam pasal 118 Undang-undang nomor 32 Tahun 2009, sebagai berikut:
(1) Jika tindak pidana sebagaimana  dilakukan oleh atau atas nama badan hukum perusahaan, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tatatertib sebagamana dimaksud dalam Pasal 118 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perusahaan tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud  dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pimpinan tanpa mengingat apkah orang-orang tersebut baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
Perusahaan selalu mencoba dan berusaha mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara :[5]
1.    memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan bisanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya.
2.    melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap perberitahuan pelanggaran yang dilakuakn dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan baik.
3.    mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instansi) tersebut.
4.    memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan pembuangan B3 yang digunakan dalam kegiatan operasional korporasi, sehingga (a) catatan pembuangan limbah secara tepat dapat diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, (b) jumlah dan jenis bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan.
5.    membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbang B3 yang handal dan kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang.
6.    menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang komprehensif, antara lain mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas penggunaan B3 dengan melakukan pembuatan serta penerapan rencana yang komprehensif untuk pengurangan dan pencagahan dari penggunaan B3. perusahaan mengatur, mengukur, meningkatkan dan mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan dari oeprasi kegiatannya dengan cara yang sistematis.
                                                                               
Berdasarkan pasal 118 tersebut diatas, maka yang dapat dikenakan pertanggungjawaban korporasi tidak hanya badan hukum/korporasinya saja akan tetapi juga para pengurusnya. Dalam menentukan pertanggungjawaban tersebut maka ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan. Hal pertama yaitu korporasi tersebut memang merupakan obyek dari norma hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh, perlu dibuktikan bahwa memang korporasi yang dimaksud adalah korporasi yang memang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Selanjutnya korporasi yang bersangkutan atau manajemennya memiliki power terhadap orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut, termasuk terhadap pelaku fisik tindakan yang menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain itu korporasi dan pengurusnya akan dikenakan pertanggungjawaban pidana apabila dapat menerima tindakan-tindakan melanggar dari pegawainya sehingga menimbulkan pencemaran.
Tahapan berikutnya dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu apabila manajemen dari korporasi tersebut telah mengetahui tindak pidana yang telah dilakukan, dan membiarkannya maka dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Selanjutnya apabila manajemen memiliki kewenangan untuk menghentikan tindakan pelaku fisik yang melakukan pencemaran lingkungan, tapi tidak melakukannya, maka dapat dikenakan tindak pidana lingkungan.
Dalam praktiknya memang tidak mudah untuk menerapkan tindak pidana korporasi. Prinsip ini harus dipahami dengan baik oleh para aparat penegak hukum, baik penyidik, Penuntut Umum, juga oleh hakim yang menangani perkara. Tindak pidana korporasi memang merupakan hal yang relatif masih baru di dalam sistem hukum Indonesia. Sehingga dengan pemahaman aparat penegak hukum yang masih beragam, dan masih terpengaruh oleh paradigma lama bahwa yang dapat dihukum pidana hanya yang melakukan tindakan pidana secara fisik, menyebabkan belum optimalnya penanganan perkara lingkungan dengan menggunakan prinsip ini.
 Penjelasan diatas, maka dapat diambil sebuah contoh kasus pencemaran lingkungan berupa kabut asap akibat praktik pembakaran lahan sebagai salah satu cara yang digunakan oleh perusahaan perkebunan untuk menaikkan pH tanah, di samping pertimbangan biaya murah. Dengan pembakaran Ph tanah, bisa dinaikkan sehingga cocok untuk tanaman tahunan seperti perkebunan kelapa sawit.
Akan tetapi perusahaan menyalahkan penduduk sekitar yang dianggap sebagai penyebab kebakaran. Hal tersebut dapat dibantah oleh saksi ahli di bidang kebakaran hutan yang dapat menunjukan bahwa kebakaran yang terjadi adalah bukan berasal dari luar areal perusahaan melainkan pembakaran yang dilakukan secara terencana dan sistematis dalam rangka pembukaan lahan untuk penanaman kelapa sawit.  Pembakaran lahan rencana areal perkebunan terbukti melakukan tindak pidana secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan. Selain pidana, pemerintah kemudian mengajukan gugatan pula secara perdata karena perbuatan itu juga bertentangan dengan Surat Keputusan Dirjen Perkebunan Nomor 38/KB.110/SK/DJ.BUN/05.95 tentang Petunjuk teknis pembukaan lahan tanpa pembakaran untuk pengembangan perkebunan dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 107/KPTS-II/1999 tentang Perizinan usaha perkebunan Pasal 15, yang menyatakan bahwa setiap perusahaan perkebunan yang telah memperoleh IUP (Izin Usaha Perkebunan) wajib membuka lahan tanpa bakar. Perbuatan itu menimbulkan kerugian seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Dalam mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Dalam hubungan dengan Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
1.       Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
2.       Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3.       Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Sebenarnya Pemerintah telah melakukan berbagai upaya penegakan hukum terhadap unit usaha / kegiatan yang tidak melalukan upaya Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan baik, karena upaya Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai bagian yang integral dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Penegakan hukum lingkungan secara konsekuen tentunya perlu keseriusan dari seluruh lepisan masyarakat sehingga permasalahan lingkungan dapat diminimalisasikan.
Upaya penegakan sanksi administratif oleh pemerintah secara ketat dan konsisten sesuai dengan kewenangan pemerintah yang ada serta perlakuan buruk dari sebagian stakeholder (perusahaan dan masyarakat) yang kurang peduli akan lingkungan sehingga akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga kelestarian fungsi lingkungan  hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administratif merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administratif dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
Sedangkan menurut Ton Dietz, upaya yang dilakukan masyarakat pada mulanya murni lingkungan, yakni mereka yang memperjuangkan masalah lingkungan demi lingkungan sendiri. Dengan risiko apa pun lingkungan harus dilindungi. Di samping, itu terdapat kepentingan yang tidak untuk melindungi lingkungan itu sendiri, tetapi demi kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan penumpukan modal (kapitalisme) supaya terjamin keajegan pasokan bahan baku industri sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung. Selanjutnya berkembang keinginan untuk melakukan advokasi lingkungan untuk melakukan penegakan dan pembaruan hukum likungan. Advokasi yang dilakukan diprakarsai oleh aktivis lingkungan yang sangat memihak kepada kepentingan rakyat Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi dan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat.[6]

Mengingat persoalan lingkungan sudah sedemikian mengkhawatirkan, ketentuan sanksi pidana terhadap pencemaran lingkungan harus dirubah dari ketentuan yang sifatnya ultimum remidium, yang menganggap bahwa pelanggaran hukum lingkungan belum merupakan persoalan yang serius menjadi premium remidium  yang menjadikan sanksi pidana sebagai instrumen yang diutamakan dalam menangani tindak perbuatan pencemaran atau perusakan lingkungan. Pilihan jatuh pada hukum pidana jika suatu kerusakan tidak dapat diperbaiki atau dipulihkan, misalnya penebangan pohon, pembunuhan terhadap burung atau binatang yang dilindungi. Perbaikan atau pemulihan kerusakan termasuk tidak dapat dilakukan secara fisik.
Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila :
1.    Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administratif dan telah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi administratif tersebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau
2.    Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan perdata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup.
Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan perubahan yang bersifat positif ataupun negatif. Untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup, maka perlu diusahakan peningkatan dampak positif dan mengurangi dampak negatif.  Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut dengan kewenangan atribusi (Atributive bevoeghdheid),  yaitu kewenangan yang melekat pada badan-badan pemerintah yang diperoleh dari undang-undang. Sehingga badan-badan pemerintah tersebut dengan demikian memiliki kewenangan untuk melaksanakan ketentuan Bab IX Pasal 63 Undang-undang nomor 32 Tahun 2009.
Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang memiliki legitimasi (kewenangan bertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena masalah legitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasan dan pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Dalam hal pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus oleh pemerintah.
Sanksi administratif merupakan kewenangan pemerintah provinsi yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Kabupaten / Kota, hal ini dapat tercantum dalam pasal 76 Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi :
(1)     Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2)     Sanksi administratif terdiri atas:
a.    teguran tertulis;
b.    paksaan pemerintah
c.    pembekuan izin lingkungan; atau
d.   pencabutan izin lingkungan
“Dikecualikan terhadap perusakan hutan yang dilindungi oleh negara atau termasuk kawasan hutan, kejahatan korporasi ditinjau dari bentuk subjek dan motif ini, dapat dikategorikan dalam White Collar Crime dan merupakan tindak pidana atau kejahatan yang bersifat organisatoris. Selain itu kejahatan korporasi juga merupakan kejahatan yang bersifat kompleks dan bersifat ekonomis”[7]

Untuk menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan korporasi tersebut. Korporasi diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindakan bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan badan hukum/korporasi, juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindakan bersangkutan yang melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya 
Untuk menetapkan suatu badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum tersebut. Badan hukum secara faktual mempunyai wewenang mengatur/menguasai dan/atau pemerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang. Dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup, badan hukum mempunyai kewajiban untuk membuat kebijaka/langkah-langkah yang harus diambilnya, yaitu :
1.    merumuskan kebajikan di bidang lingkungan;
2.    merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak serta menetapkan siapa yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut;
3.    merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang menggangu lingkungan dimana juga harus dieprhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yag diberlakukan perusahaan yang bersangkutan;
4.    penyedian sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Jika terhadap kewajiban-kewajiban di atas badan hukum tidak atau kurang memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa badan hukum kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang.
Agar suatu badan hukum dapat ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu :
1.    apakah kasus tersebut berkenaan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tidak pidana;
2.    norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang menggangu lingkungan;
3.    sifat, struktur dan bidang kerja dari badan hukum tesebut.

D.      PENUTUP
KESIMPULAN
Pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap kemajuan ekonomi dengan melakukan pembangunan sarana prasarana untuk kepentingan umum, dan pihak pemodal khususnya perusahaan perkebunan kelapa sawit, pembangunan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak swasta akan berdampak kepada perubahan lingkungan hidup. Sehingga memerlukan regulasi komitmen awal maupun pengawasan serta sanksi terhadap perizinan yang dkeluarkan terutama kepada pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bersentuhan langsung dengan sumber daya alam. Adapun komitmen tersebut diatur pada Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 pada pasal 22 yaitu tentang amdal, sebagai pertanggungjawaban awal dan sarana pengawasan bagi kegiatan perusahaan yang telah mendapat perizinan lingkungan, disamping itu pada Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 terdapat pada pasal 26 disertakannya  masyarakat baik pribadi maupun organisasi kemasyarakatan untuk berpartisipasi mengenai dampak lingkungan mulai dari penyusunan amdal sampai kepada pengawasan serta pelaporan bila terjadi dampak perusakan lingkungan.
Memperhatikan ketentuan Pasal 118 Undang-undang nomor 32 Tahun 2009, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.

SARAN
Secara materi perundang-undangan sudah memenuhi persyaratan, terlaksananya Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup dengan baik tergantung prilaku atas pelaksanaan dari stakeholder yang berhubungan langsung dengan lingkungan hidup, dimulai dari pihak perusahaan, pemerintah dan juga masyarakat sendiri, sehingga diperlukan pada wajtu akan perbaikan sebagai berikut :
1.    Alat kontrol dari aktivitas pejabat negara atau instansi yang melakukan pengawasan lingkungan, dengan tidak memberi kemudahan atau toleransi kepada perusahaan untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya, tetapi langsung memberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga memberi efek jera sehingga menjadi contoh kepada perusahaan yang belum pernah melakukan perusakan lingkungan hidup.
2.    Pejabat yang bertanggung jawab terhadap lingkungan harus melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap perberitahuan dari masyarakat tentang pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan baik, sehingga tidak berdampak pada perusakan lainnya.
3.    Setiap perusahaan dapat memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan pembuangan B3 yang digunakan dalam kegiatan operasional korporasi, sehingga (a) catatan pembuangan limbah secara tepat dapat diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, (b) jumlah dan jenis bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan.
4.    Melakukan teknologi daur ulang limbah dilingkungan perusahaan.








DAFTAR PUSTAKA
Husein, Harun M. Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Jakarta: Bumi Aksara,1993.
Keraf, A Sony. Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya,  Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Koesnadi Hardjasoemanti, Hukum  Lingkungan, Edisi VIII Cetakan ke-9”,Gajah Mada University Press, Yokyakarta,2006
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Kedua, : Eresco, Bandung ,1989.
Siti Sundari Rangkuti, Instrumen Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta, 2003
Sjahdeini, Sutan Remy. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,  : PT. Grafiti Pers, Jakarta 2006.

              


[1] Koesnadi Hardjasoemanti, “Hukum  Lingkungan” Edisi VIII Cetakan ke-9”,Gajah Mada University Press, Yokyakarta,2006, hlm.25.
[2] Siti Sundari Rangkuti, “Instrumen Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta, 2003 hlm. 2
[3] Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Kedua, : Eresco, Bandung ,1989, hlm.47


[4] Husein, Harun M. “Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya”, Jakarta: Bumi Aksara,1993,hlm.37

[5] Keraf, A Sony.” Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius, 1988,hlm.67

[6] Ton Dietz, 1998, “Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam”, Pengantar Dr. Mansour Faakih, Refleksi Gerakan Lingkungan, Remdec,Insist Press dan Pustaka Pelajar,Yogyakarta,1998, hal ix-x.
[7]  Sjahdeini, Sutan Remy. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, : PT. Grafiti Pers, Jakarta 2006,hlm.19

NURANI HUKUM