PERTARUNGAN TEORI PEMANFAATAN TANAH
PERTANIAN
Oleh : R.Zaini Lubis, S.H,.M.H.
Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang
berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan”, dan aspek “penggunaan dan
pemanfaatan”
------------------------------------------------------------------------------------------------
KASUS
pertanahan terakhir ini mencuat di ranah publik bukan hanya di ekspose pada
ruang lokal tetapi sudah secara nasional dan malah dimungkinkan pada tataran internasional, tentang
permasalahan ini; “Seperti benang kusut
yang sulit diurai dan dimana pangkal dan dimana ujungnya”.
“Mesuji”
adalah hanya satu kasus dari banyak kasus pertanahan di Indonesia terutama pada
lahan-lahan perkebunan dan hutan tanaman industri, berbagai kebijakan dari
Pemerintah telah diaplikasikan dalam rangka untuk mengatur tatanan konsep
pemanfaatan pertanahan dalam rangka mencapai cita-cita hukum agraria yang
dikatakan populis tersebut, semua subjek hukum terbelenggu dari kebijakan peme-rintah
dalam rangka pengaturan tentang hak pemanfaatan tanah.
Hukum
Agraria dapat diibaratkan suatu bangun ruang yang maha luas yang diperuntukkan
bagi kesejahteraan rakyat yang berlandaskan butir ke lima Pancasila dan pasal
33 ayat (3) UUD 1945 yang dijiwai oleh hukum adat, bangun ruang tersebut diberi
sekat-sekat berbentuk ruang yang berbagai ukuran, ada ruang untuk masyarakat
petani yang berukuran kecil dan ruang berukuran besar yang diperuntukkan bagi
negara atau pemerintah dan ruang lainnya, pada sekat-sekat tersebut dibuatkan
aturan pelaksanaan yang memakai alas/ dasar sebagai pembenaran teori dari
berbagai sektor untuk melakukan ekosploirasi dan eksploitasi dari sumber daya
alam terutama tanah.
Perintah
dari UUD 1945 sebagai “grand strategi dan ground norma (kaidah dasar)
untuk memberikan “Hak Menguasai Negara”
(HMN) terhadap tanah, yang merupakan suatu hak yang diberikan oleh rakyat
kepada negara dalam rangka untuk mengatur, menyelenggarakan sebesar-besar-nya
kemakmuran rakyat yang bersumber dari hukum adat/hak ulayat berpola hak
kolektiv dan saling tarik menarik dengan hak individu dan mempunyai dialektika
lingkungan yang menggunakan akal budinya untuk melakukan tindakan.
Berdasarkan
HMN sebagai politik hukum dari negara melalui pemerintah yang mendapatkan
otorisasi untuk melakukan kebijakan dalam rangka pemanfaatan tanah yang
merupakan pola umum dari hukum positif suatu negara.
Negara
dalam melakukan kebijakan dengan menganut faham utilitarianisme, meng-andung
arti “tanah adalah berguna jika
dimanfaatkan, apa saja asal berguna untuk mencapai tujuan” dalam rangka
memaksimalkan potensi tentang tanah dan kegiatan budidaya unggulan, sebagai
penggerak utama pembangunan diwilayah pedesaan dan menciptakan iklim investasi
yang kondusif.
Melalui otorisasi negara, kebijakan berlang-sung diberbagai sektor tanpa mengikuti simpul “grand strategi dan ground norma (kaidah dasar), negara mengatur, memutuskan peruntukan tanah, kewena-ngan KTUN dilakukan melalui pengurusan (bestuursdaad), pengolahan (behersdaad) dan ketetapan/penetapan (beschikking) dalam rangka pemanfaatan tanah yang merupakan legal formal.
Melalui
RTRW ditetapkan zonasi-zonasi yang homogen terintegrasi yang memer-lukan
kekuatan modal dan merupakan pola-pola umum dari hukum positif suatu negara
dalam pembangunan yang memerlukan legitimate hukum dari publik.
Melalui
PerMen.Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian hak ulayat atas
tanah “diakui sepanjang pada kenyataannya
masih ada” melalui keteta-pan Pemerintah Daerah.
Hak
atas tanah yang terkuat dibuktikan melalui sertifikat tanah yang dimiliki
seseorang, hal ini merupakan legal formal untuk mendukung program pemanfaatan
tanah dengan didahului pemetaan hak-hak atas tanah dan perencanaan tataruang
untuk memudahkan dalam mengidentifikasi dan meminta pertanggungjawaban terhadap
tanah-tanah secara ipso facto, faham
utilitarianisme menekankan akan “analisis
atas studi biaya dan keuntungan/keman-faatan”
Secara
dibawah titik sadar bangsa Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya terutama memanfaatakan tanah telah berinovasi melalui teori utilitari-anisme,
dengan mengatur zonasi-zonasi yang homogen dan membatasi akses hak ulayat untuk
mendapat legitimate di ranah publik, dan menerbitkan ijin lokasi melalui KTUN
terhadap tanah-tanah ini merupakan tindakan yang dapat disebut etis bila jumlah
total utilitis lebih besar dari jumlah utilitis total oleh tindakan lain atau
berguna bagi subjek hukum yang mendapatkan ijin, sedikit mengorbankan keadilan
atau moral demi membela yang lebih kuat yang dapat memberikan manfaat secara
nyata bagi keuntungan negara melalui “koorporasi”
Intervensi
negara melalui ijin pemindahan hak-hak negara yang didapat dari rakyat dan
memindahkan sebagian hak-hak tersebut kepada pihak lain secara logika akan
kelihatan menjauhkan hukum dari keadilan dan kebijakan ini merubah tatanan
sosial masyarakat dilingkungan koorporasi dan merupakan rivalitas terhadap lingkungan sekitarnya.
Koorporasi
dipandang sebagai subjek hukum
nyata (reliteit) bukan fiksi dari konstruksi yuridis seolah-olah sebagai
manusia dalam lalulintas hukum dan juga mempunyai kehendak sendiri yang
dibentuk melalui kelengkapan yang disebut pengurus yang dapat juga
dikategorikan sebagai subjek hukum pengurusnya dipersamakan dengan perbuatan
manusia lainnya yang diukur dengan kekuatan modalnya dan batas maksimum apa
yang bisa diperbuatnya dalam rangka pemanfaatan tanah itulah asas-asas yang ada
pada faham utilitirianisme.
UUD
1945 dan UUPA telah benar memberikan kebijakan akan pemanfaatan tanah, populis
dengan memakai bingkai hukum adat dan hak keulayatan, dengan sifat budaya
masyarakat Indonesia “musyawarah dan mufakat” jauh dari sengketa dan hiruk
pikuk dan saling bunuh yang merupakan dialektika lingkungan, tidak merupakan
kontribusi modal, tetapi partisipasif dan sebesar-besarnya kemak-muran anggota
masyarakatnya, bukan soal keuntungan saja tetapi soal “proses”, masyarakat sebagai “subjek”
yang terlibat secara “partisipatif”
yang diarahkan kepada “peran”
terhadap “pemanfaatan tanah”,
permasalahan bukan tataran “gran strategi
dan ground norm”, tetapi pada sinkronisasi dan harmonisasi KTUN terhadap
pengaturan pemanfaatan tanah terhadap cita-cita yang bangsa.
Konsep
utilitarianisme sesuai dipakai pada
tataran pemanfaatan tanah pada lingkungan “
tanah terlantar”, bukan pada tanah-tanah hak secara ipso facto, demikian juga hukum adat dan hak keulayatan tetap harus
dipertahankan dalam mengelola tanah-tanah di Indonesia bukan pada tataran dari legitimate haknya, tetapi pada tataran “hak kolektive dan saling tarik menarik
dengan hak individu”
Sistematika
hukum adat/hak ulayat tetap harus dipertahankan karena secara ideologis hukum
adat menjadi pertimbangan pokok dalam menyusun ketentuan penguasaan tanah
menurut hukum negara, dan mempu-nyai kearifan yang sama dengan hukum agama yang
dianut di Indonesia tentang pemanfaatan tanah sebagai sumber daya ekonomi yang
khas, meskipun demikian negara harus selalu mengawasi hal ini sebab hukum adat
selalu dipengaruhi oleh; politik, kapitalis dan kadaerahan/swapraja, bila
negara yang memiliki HMN melalui pemerintah agar dapat menjaga keseim-bangan
dalam melakukan kebijakan sehingga tidak terjadi kasus “mesuji-mesuji lainnya”
atau menimbulkan kemunduran tentang pemanfaatan tanah produksi yang selama ini
sudah menopang prekonomian yang cukup dominan.
Kasus
“Mesuji” merupakan “kejadian berdarah” yang perlu disikapi oleh seluruh anak
bangsa, saat ini zamannya keterbukaan informasi, baik itu melalui media cetak,
media elektronik dan lainnya, kasus “Mesuji”
yang di ekpsose sangat vulgar dan kadang tidak memenuhi unsur-unsur pengetahuan
yang cukup tentang dasar-dasar “kebijakan
Agraria”, semua orang bisa bicara sehingga membentuk “opini keresahan” dan menghasilkan konflik baru ditengah-tengah
masyarakat, padahal pada tataran negara modern memerlukan “kepastian” dan “legitimate”
hukum, negara membutuhkan modal untuk membangun bangsa, tidak ada suatu negara
didunia yang tanpa membutuhkan bantuan modal dari pihak lain (swasta) yang
dijadikan avalis dari berbagai kegiatan.
Pertarungan
teori tentang pemanfaatan tanah tidak akan pernah selesai, akan terus menerus
saling bentur-membenturkan, se-hingga terjadi pasang surut dan mengha-silkan
kerugian dan keuntungan dari rente-rente masing pihak yang berperan
dida-lamnya, sehingga pemerintah harus tetap waspada dan bijak dalam
menyikapinya (lubis.coy10*)
No comments:
Post a Comment